ADALAH YANG BANYAK MANFAATNYA BAGI ORANG LAIN
=======================================
Sungguh beruntung bagi siapapun yang
dikaruniai Allah kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik peluang kebaikan yang
diperlihatkan Allah kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi Allah aneka
potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya
untuk sebanyak-banyaknya umat manusia.
Karena ternyata derajat kemuliaan
seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya punya nilai manfaat bagi orang
lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, " Sebaik-baik manusia
diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain " (HR.
Bukhari).
Seakan
hadis ini mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan
akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri ini?
Mari kita tanyakan pada diri kita
masing-masing. Apakah kita tergolong manusia wajib, sunat, mubah, makhruh, atau
malah manusia haram?
Apa itu Manusia Wajib? Manusia
wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan
perilakunya membuat hati orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak
dari seorang 'Manusia Wajib', diantaranya dia seorang pemalu yang jarang
mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku
kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia
hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya
berbicara.
Sedikit kesalahannya, tidak suka
mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan.
Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa,
penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan
mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.
Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang
akhlaknya baik perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap
tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah
cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya
pun karena Allah SWT. Subhanallah demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah
akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati
yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka
siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga
kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada,
siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang
baik. Dan, ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik
pula.
Kalau Orang yang Sunah,
keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada tidak tercuri hati kita.
Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena
kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena
hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa dengan
orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga
kalbu siapapun.
Sedangkan Orang yang Mubah ada
dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja.
Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau
tidak ada pun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah.
Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat,
dan tidak juga membawa mudharat.
Adapun Orang yang Makruh,
keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak
berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan
atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor
suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa
ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu
pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.
Seorang anak yang makruh, kalau pulang
sekolah justru masalah pada bermunculan, dan kalau tidak pulang suasana malah
menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi
arisan daripada ada di rumah.
Sedangkan karyawan yang makruh,
kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada
bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.
Lain lagi dengan Orang bertipe Haram,
keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru
disyukuri. Jika saja dia pergi ngantor, justru perlengkapan kantor pada hilang,
maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.
Masya Allah, tidak ada salahnya kita
merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang
menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa
mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai
manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah
karena perilaku sombong kita?
Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada
diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti
kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini
seorang ayah atau seorang gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang
penjahat?
Kepada para mubaligh, harus bertanya?
benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan
popularitas saja?
Nampaknya,
saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah
akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani
jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal bodoh,
merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal untuk
berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri
sendiri.
Kalaupun mendapati orang tua kita
berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah dagingnya melekat pada diri kita,
karenanya kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya demi
keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua yang belum Islam, kewajiban
seorang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkannya jalan hidayah. Apabila
orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka seorang anaklah
yang berada pada barisan pertama membantu orang tua kita menjadi seorang ahli
ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya
hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan
menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "Kenapa
saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak
yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya.
Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan.
Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita
ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, Insya Allah itulah
rizki kita.
Begitu pula terhadap lingkungan, kita
harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak
usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah, tapi Allah malah
mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini
pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat, sehingga si kucing tidak
mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan, padahal oleh si ibu tidak pula
diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya, walau si ibu ini ahli
ibadah, tapi Allah melaknatnya karena akhlak pada makhluknya jelek.
Kadang
aneh kita ini, ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita
cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal
rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang
bertasbih kepada-Nya.
Yang paling baik adalah jangan sampai
ada makhluk apa pun di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram
atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati,
karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan
ketika Nabi SAW pindah mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma,
maka pohon kurma itu diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah
ditinggalkan sebagai alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada
para sahabatnya.
Kejadian lain adalah ketika
seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum seakan
hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini berlari
ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama sekali tidak kelihatan merasa
takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman Allah
dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya.
Seraya mengajak berbicara layaknya pada
makhluk yang bisa diajak bicara, "Mau apa ke sini? Kalau tidak ada
kewajiban dari Allah dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah baiknya
engkau pergi", maka pergilah singa itu, Subhanallah. Demikianlah,
orang yang takutnya hanya kepada Allah, makhluk pun tunduk kepadanya.
Seperti halnya ketika ada ular di
halaman rumah, maka bagi orang yang akhlaknya baik dan dia merasa tidak
terganggu, sama sekali dia tidak akan membunuhnya, malah ditolongnya si ular
ini untuk bisa kembali ke habitatnya, itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa mengganggu
sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya
dengan cara terbaik, dan tidak lupa disebutnya asma Allah. Jadilah proses
membunuh ular ini sebagai ladang amal.
Betapa indah pribadi yang penuh pancaran
manfaat, ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, menjadikannya
tumbuh benih-benih, bermekarannya tunas-tunas, merekahnya bunga-bunga di taman,
hingga menggerakkan berputarnya roda kehidupan.
Demikianlah, cahaya pribadi kita
hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang
lain dalam berbuat kebaikan dengan full limpahan energi karunia Allah Azza wa
Jalla, Zat yang Maha Melimpah energi-Nya, Subhanallah.
Ingatlah, hidup hanya sekali dan
sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat
diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, sebagai
Khairunnas. Sebaik-baik manusia!
Insya Allah.
====================================================
Dipetik Ganet Boedi Oetomo
dari renungan K.H.
Abdullah Gymnastiar