(Oleh: Ibnu Sudirman)
عَنْ أَبي هرَيْرَةَ t، عَنْ
رَسولِ اللّهِ- r- قَالَ: قَالَ سلَيْمَان بْن دَاودَ عَلَيهِمَا
السَّلَام: لأَطوفَنَّ اللَّيْلةَ عَلَى مِائة امْرَأَةٍ -أَوْ تِسْعٍ
وتسعِينَ- كلهنَّ
يَأْتي بِفَارِسٍ يجَاهِد فِي سَبيلِ اللّهِ. فَقَالَ لَه
صَاحِبه: قلْ: إِنْ شَاءَ الله. فَلَمْ يَقلْ إِنْ شَاءَ اللّه، فَلَمْ
تَحْمِلْ منْهن إِلا امْرَأَة وَاحِدَة جَاءَتْ بشِقِّ رَجلٍ. وَالَّذِي
نَفْس محَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ قَالَ: إِنْ شَاءَ اللّه، لَجَاهَدوا فِي
سبِيلِ اللّهِ فرسَانا أَجْمَعونَ.
وفي رواية: فَقَالَ لَه المَلَك:
قلْ إِنْ شَاءَ اللّه، فَلَمْ يَقلْ وَنَسِيَ، فَأَطَافَ بِهِنَّ وَلَم
تَلِدْ مِنْهنَّ إِلا امْرَأَة نِصْفَ إِنْسَانٍ فَقَالَ النَّبيّ r: لَوْ
قَالَ “إِنْ شَاءَ اللّه”، لَمْ يَحْنثْ وَكَانَ أَرْجَى لِحَاجَتِهِ.
وفي رواية: فَقَالَ لَه صَاحِبه:
قَالَ سفْيَان: يَعني الْمَلَكَ، قلْ إِنْ شَاءَ اللّه فَنَسِيَ. وفيها:
لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللّه لم يَحْنَثْ وَكَانَ دَرَكا له فِي حَاجَتِهِ.
Dari Abu Hurairah
–radhiyallaahu ‘anhu-, dari Rasulullah
–shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda,
“Sulaiman bin Daud berkata, ‘Sungguh
pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau sembilan
puluh sembilan). Setiap dari mereka akan melahirkan pasukan berkuda
yang siap berjuang di jalan Allah.’ Maka shahabatnya berkata kepadanya,
‘Ucapkanlah insyaAllah (jika Allah menghendaki).’ (Akan tetapi) dia
lupa untuk mengucapkan insyaAllah, maka tidak ada seorangpun yang hamil
dari isterinya melainkan hanya satu saja yang melahirkan separuh orang.
Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman)
mengucapkan insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) akan menjadi pasukan berkuda yang siap berjihad di jalan Allah.“ [1]
Dalam riwayat yang lain dikatakan,
“Maka seorang malaikat
berkata kepadanya, ‘Ucapkanlah insyaAllah.’ (Akan tetapi) dia
(Sulaiman) tidak mengucapkannya karena lupa. Maka kemudian ia menggilir
isteri-isterinya dan dari mereka tidak ada yang melahirkan kecuali
seorang perempuan setengah manusia. Maka Nabi mengatakan, “Seandainya ia mengucapkan insyaAllah, dan tidak melanggar sumpahnya, maka keperluannya lebh bisa ia harapkan.“ [2]
Dalam riwayat lain pula dikatakan,
“Maka shahabatnya mengatakan, (sebagaimana diriwayatkan oleh Sufyan),
‘Ucapkanlah insyaAllah, akan tetapi dia lupa.“ Dan dalam riwayat tersebut dikatakan,
“Seandainya dia (Sulaiman) mengucapkan insyaAllah dan tidak melanggar sumpahnya, maka kebutuhannya bisa ia capai.“[3]
URAIAN PEMBAHASAN
Dari hadits di atas, maka kita dapat mengambil beberapa pelajaran yang berkaitan dengan permasalahan dakwah, diantaranya:
Sifat-sifat da’i.
- Meluruskan niat dalam beramal.
Niat yang benar merupakan seagung-agung
sifat yang terpuji. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, yaitu
perkataan Nabiyullah Sulaiman –‘alaihi as-salaam-,
كلهن يأتي بفارس يجاهد في سبيل اللّه.
“Setiap dari mereka akan melahirkan pasukan berkuda yang siap berjuang di jalan Allah.“
Imam Abu Hamzah –rahimahullaahu ta’ala-
menjelaskan, “Salah satu faedah dari hadits tersebut adalah bahwa Nabi
Sulaiman mengatakan seperti itu karena kuatnya harapan dan niatnya yang
lurus.”
Hal ini menunjukkan bahwa niat
seorang mukmin akan lebih sampai kepada tujuan dari perbuatan yang
dikerjakannya apabila dirinya meniatkan ikhlas lurus hanya mengharap
keridha’an Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Terlebih lagi bagi
seorang da’i di jalan Allah, pertama-tama yang harus ia perhatikan
adalah niat. Wajib baginya agar mengikhlaskan dakwahnya hanya karena
mengharapkan ridha Allah –subhaanahu wa ta’ala-.
- Memiliki semangat berjihad dan berjuang di jalan Allah, sebagaimana para nabi –‘alaihimu as-salaam-.
Sesungguhnya para nabi –‘alaihimu as-salaam- adalah golongan manusia yang memiliki semangat yang luar biasa dalam berjihad di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala-demi menegakkan kalimat Allah –subhaanahu wa ta’ala- di muka bumi ini. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Sulaiman –‘alaihi as-salaam-, “Sungguh
pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau dikatakan
-sembilan puluh sembilan-). Setiap dari mereka akan melahirkan pasukan berkuda yang siap berjuang di jalan Allah.“
Kata-kata yang beliau ucapkan tersebut menandakan semangatnya yang begitu besar untuk berjihad di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala-, karena tujuan utama Nabi Sulaiman –‘alaihi as-salaam-menggilir para isterinya agar terlahir dari mereka para mujahid yang siap berperang di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala-, bukan semata-mata untuk tujuan yang bersifat duniawi. Walaupun pada kenyataannya Allah –subhaanahu wa ta’ala- tidak mengabulkan do’anya tersebut disebabkan beliau tidak mengucapkan insyaAllah.
Maka sebagai seorang da’i di jalan Allah ,
hendaknya kita memiliki semangat untuk berjihad dan berjuang di jalan
Allah dalam rangka menegakkan agama ini di muka bumi dan menjadikan
niatnya yang lurus sebagai i’dad (upaya persiapan) untuk melaksanakan jihad di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Sebagaimana Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa yang mati dan
belum pernah berperang dan tidak terdetik dalam dirinya (keinginan untuk
berperang), maka ia mati di atas cabang kemunafikan.“ [4]
- Beramal dengan sebab-sebab untuk mencapai tujuan dengan tidak meniadakan sikap tawakal kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-.
Tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan
sebab-sebab yang dapat membantu seseorang mencapai suatu tujuan yang
diharapkan adalah suatu keharusan. Akan tetapi disamping beramal dengan
berbagai sebab-sebab tersebut, diharuskan bagi seorang muslim agar
menyandarkan dirinya kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala- yaitu bertawakal kepadanya.
Sebagaimana apa yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman –‘alaihi as-salaam-.
Beliau mengerjakan perbuatan yang menjadi salah satu sebab untuk
mendapatkan keturunan, yaitu dengan menggilir isteri-isterinya.
Maka satu hal yang perlu diperhatikan dengan seksama oleh seorang da’i di jalan Allah -subhaanahu wa ta”ala-
agar melakukan sebab-sebab yang dapat membantu dalam mensukseskan
dakwahnya di jalan Allah dengan tidak meninggalkan rasa tawakal kepada
Allah –subhaanahu wa ta’ala- semata. Karena Dialah yang Maha Penolong bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
- Teliti dan cermat dalam menukil sebuah hadits, sebagaimana yang dilakukan ulama salaf.
Hadits di atas juga menunjukkan tentang perhatian salafush Shalih dalam menukil dan menyampaikan sebuah hadits. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits di atas tentang perkataan Sulaiman –‘alaihi as-salaam-,
لأطوفن الليلة على مائة امرأة- أو تسع وتسعين
“Sungguh pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau sembilan puluh sembilan).“
Imam Abu Hamzah –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan, “Perawi hadits ragu-ragu yang mana dari dua riwayat tersebut yang merupakan perkataan Rasulullah.”
Dari sini jelas, bahwa menghafal dan
menguasai sebuah hadits dan menukil dengan cermat adalah hal yang sangat
penting bagi seorang da’i yang berdakwah di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh generasi salaful ummah.
- Mengatakan insyaAllah ketika ingin melakukan pekerjaan pada masa mendatang.
Hadits di atas menunjukkan bahwa salah
satu hal yang sangat pentingnya bagi seorang muslim adalah mengucapkan
insyaAllah ketika akan mengabarkan tentang perbuatannya yang akan
dilakukannya pada waktu yang akan datang atau ketika akan memberikan
kepastian kepada saudaranya.
Dalam hadits di atas dikisahkan seorang Nabiyullah, Sulaiman –‘alaihi as-salaam-yang lupa mengucapkan insyaAllah ketika dia akan mengerjakan sesuatu pada waktu yang akan datang. Maka Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- kemudian bersabda, “Demi
jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman) mengucapkan
insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) semuanya akan berjihad di jalan
Allah.“ Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Seandainya dia mengucapkan insyaAllah dan tidak melanggar sumpahnya, maka kebutuhannya bisa ia capai.“
Dalam hal ini Allah –subhaanahu wa ta’ala- telah memerintahkan kepada kita dengan firman-Nya,
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ ,
“Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini
besok pagi, kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah’ . Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa…” (QS. al-Kahfi : 23 – 24).
Maka jelaslah, bahwa mengucapkan
insyaAllah merupakan salah satu adab yang sangat penting yang tidak
boleh diremehkan oleh seorang da’i sehingga hal itu perlu untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Metode dakwah.
- Kisah-kisah
Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an
dan hadits-hadits yang shahih merupakan salah satu metode dakwah yang
sangat penting. Karena di dalamnya mengandung pengaruh dalam jiwa
seseorang.
Sebagaimana hal ini terdapat pada hadits di atas, yakni Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-mengisahkan kepada kita tentang Nabiyullah Sulaiman –‘alaihi as-salaam- dan tentang kehendak Allah –subhaanahu wa ta’ala-.
Maka diharapkan bagi seorang da’i agar
memperhatikan metode dakwah ini dan menerapkannya dalam dakwahnya karena
di dalamnya terdapat banyak faedah yang sangat penting.
- Memperkokoh sesuatu dengan sumpah.
Memperkuat perkataan dengan sumpah
merupakan salah satu metode dakwah yang penting untuk menyampaikan suatu
maksud kepada seseorang dan mengokohkan dalam hati dan menjadikan
seseorang lebih percaya.
Dalam hadits di atas, Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
والذي نفسي بيده لو قال إن شاء اللّه لجاهدوا في سبيل اللّه
“Demi jiwa
Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman)
mengucapkan insyaAllah, maka sungguh (anak-anaknya) akan berjihad di
jalan Allah.“
Begitu pula apa yang dikatakan oleh Nabi Sulaiman –‘alaihi as-salaam-,
لأطوفن الليلة على مائة امرأة
“Sungguh pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri.“
Maka bagi seorang da’i agar memperhatikan metode ini dalam berdakwah di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala- dalam kondisi yang dibutuhkan.
Sasaran dakwah.
Memberikan peringatan kepada orang yang lupa walaupun kepada orang yang berkedudukan tinggi.
Hal ini merupakan tugas yang penting bagi
seorang da’i. Sebagaimana dikisahkan dalam hadits, bahwa seorang
malaikat yang menjadi tentara Nabi Sulaiman –‘alaihi as-salaam-, memberikan peringatan kepada Nabi Sulaiman –‘alaihi as-salaam- ketika
beliau tidak mengucapkan insyaAllah. Malaikat tersebut mengatakan,
‘Katakanlah insyaAllah.’ Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
memberikan peringatan bagi orang yang lupa walaupun dirinya adalah orang
yang terhormat, berpengaruh dan agung di kalangan manusia.
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah pernah bersabda,
إنمــا أنا بشر مثلكم أنسى كمــا تنسون فإذا نسيت فذكروني
“Sesungguhnya aku hanyalah
manusia biasa sebagaimana kalian. Aku bisa saja lupa sebagaimana kalian
juga lupa, maka jika aku lupa berikanlah peringatan kepadaku.” [5]
Dan telah diketahui bahwa Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah sebaik-baik manusia, beliau pula telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah –subhaanahu wa ta’ala-, baik yang telah lalu maupun yang akan datang (ma’shum).
Maka diharapkan bagi setiap da’i yang benar-benar ikhlas berdakwah di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala-
pada khususnya, juga kepada setiap orang yang mengaku dirinya muslim
pada umumnya agar memberikan peringatan kepada orang yang lupa walaupun
dirinya merupakan orang yang terpandang dan memiliki kedudukan di
tengah-tengah manusia. Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat
penting dan manfaat-manfaat yang banyak.
فذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “ (QS. al-Dzariyat : 55).
REFERENSI
Al-Qur’an al-Karim
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahihu al-Bukhaari, Beirut: Daar al-Fikr, 1998.
Imam al-Nawawi, al-Minhaj (Syarhu Shahih Muslim bin Hajjaj), Beirut: Daar al-Maghfirah, 1999, cet. Ke-6.
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, Riyadh: Baitu al-Afkar al-Dauliyah.
Sa’id bin ‘Ali Wahb al-Qahthani, Fiqhu Dakwah fii Shahiih al-Imam al-Bukhari, al-Maktabah al-Syamilah.
[1] HR. al-Bukhari, dalam kitab: Hadits-Hadits Tentang Para Nabi, bab: Firman Allah
ta’ala: ( وَوَهَبْنَا لِدَاودَ سلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْد إِنَّه أَوَّاب], Dan
juga dalam kitab: Sumpah dan Janji, bab: Bagaimana Sumpah Nabi (no.
6639), dalam kitab: Kafarat Sumpah, bab: Pengecualian dalam Sumpah, (no.
6720), dalam kitab: Tauhid, bab: Kehendak dan Kemauan, (no. 7469).
Muslim dalam
syarah-nya karya Imam an-Nawawi –
rahimahullaahu ta’ala-, dalam kitab: Sumpah, bab: Pengecualian, (no. 4261, 4262, 4263, 4264).
[2]
HR. al-Bukhari dalam kitab: Nikah, bab: Perkataan Seseorang, “Sungguh
aku akan mencampuri isteriku pada malam hari ini. (no. 5242).
[3] HR. Al-Bukhari dalam kitab: Kafarat Sumpah, bab: Pengecualian dalam Sumpah, (no. 6720).
[4] HR. Muslim dalam
syarah-nya karya Imam an-Nawawi
–rahimahullaahu ta’ala-,
dalam kitab: Jihad, bab: Celaan bagi orang yang mati dan belum pernah
berperang dan tidak terdetik dalam dirinya untuk berperang, (no. 4908)
dan Abu Dawud dalam kitab: Jihad, bab: Larangan Meninggalkan Perang,
(no. 2502).
[5] HR. al-Bukhari, dalam kitab: Shalat, bab: Menghadap ke arah kiblat dalam ketika (sujud), (no. 401), dan Muslim dalam
syarah-nya
karya Imam an-Nawawi t, dalam kitab: Masjid dan Tempat-Tempat Shalat,
bab: Lupa Dalam Shalat dan Mengerjakan Sujud, (no. 1274).